Ayahku bernama Zakaria bin Amin. Itulah namanya yang asli. Tapi setelah pulang menunaikan ibadah hajji sekira tahun 1994, ia lebih dikenal dengan nama ‘Haji Habiburrahman’.
Sebenarya ‘Habiburrahman’ adalah nama Saudara tuaku yang pertama, entah bagaimana asal usulnya, salah satu tradisi kami di Lombok adalah memanggil setiap warga yang telah menunaikan ibadah hajji dengan sebutan ‘Haji’ diikuti oleh nama anak pertamanya. Tapi, bagi anak kandung sendiri akan memanggil ‘Bapak’ bagi ayahnya setelah menunaikan ibadah hajji.
Dari sekian banyak nilai luhur yang ditanamkan Bapak, ‘ambisius’ adalah yang paling kuat dalam ingatanku. Beliau adalah sosok yang kalau sudah punya mau, maka harus dikejar sampai dapat. Beliau sanggup menerjang badai sebesar apa pun, khususnya dalam pendidikan anak-anaknya.
Bapak tidak pernah mengeluh membiayai tujuh orang anaknya yang bersekolah bersamaan, satu orang kuliah, empat orang di pesantren, dan dua orang di rumah. Aku adalah salah satu yang tinggal di rumah saat itu, karena aku masih sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Mi’rajusshibyan Lengkok Lendang.
Demi anaknya tak putus sekolah, Bapak akan melakukan segalanya, termasuk meminjam uang dari orang lain. Karena Aku tinggal di rumah, Aku tahu betul beban yang dipikulnya untuk membiayai anak-anaknya, terutama kakak-kakakku yang kuliah dan di pesantren. Tapi ia selalu tampak tegar, gembira dan bahagia di depan semua orang.
Saat aku menulis kisah ini, aku sedang mengenyam pendidikan magister, setiap kali Bapak nelpon, ia memiliki pertanyaan wajib yang harus kujawab berulang-ulang, “Kapan wisudanya?”. Aku tahu maksudnya adalah, “Yang serius belajar, harus tuntas sampai wisuda.”
Dulu saat Aku meminta izin menikah, ia awalnya tak mengizinkan karena ia berharap aku menyelesaikan semua jenjang kuliah hingga S3 (doktoral) sebelum menikah. Tapi Aku tak kehabisan akal, “Kalau sudah menikah, Saya akan semakin semangat kuliah.” Janjiku. Akhirnya ia pun mengizinkan.
Bapak adalah sosok yang sangat sederhana untuk dirinya sendiri, bahkan sampai saat ini ia tak bisa mengendarai sepeda motor, dan baru beberapa bulan lalu bisa memakai HP android. Tapi untuk pendidikan anak, ia bahkan rela kehilangan semua yang paling berharga dalam hidupnya demi anak-anaknya.
Inilah yang kumaksud dengan ‘ambisius’. Tapi, selain itu Bapak adalah sosok yang sangat religius, ia adalah guru Qur’anku yang pertama, ia ahli tahajjud, ahli wirid dan punya do’a-do’a khusus untuk anak bahkan cucunya.
Seakan-akan ia hendak mengajarkanku, “bahwa ambisi saja tidak cukup, tapi harus menguatkan hubungan dengan Allah melalui do’a dan ibadah.”
Aku tahu, Bapak bukan tipe pria romantis yang pandai menggunakan kata-kata pujian dan rayuan, tapi bagiku, kerutan di wajah, keringat di tubuh, dan sorot mata yang tajam pada Bapak adalah hal paling romantis yang melampui ungkapan, “Aku sayang kamu, Nak.”
Pondok Putra Fajrul Islam, 14 Agustus 2024