Pasa masa Nabi Muhammad SAW, masjid adalah yang pertama dibangun, setelah Nabi dan para pengikutnya tiba di kota Madinah. Dari masjid inilah Nabi mulai membangun peradaban. Masjid tidak hanya dijadikan sebagai sarana tempat ibadah saja, tetapi lebih dari itu.
Masjid dijadikan sebagai pusat pendidikan, tempat konsultasi dan komunikasi masalah ekonomi-sosial budaya, tempat santunan sosial, tempat menyusun strategi, hingga tempat menerima tamu. Dari sinilah kelak lahir tokoh-tokoh yang berjasa dalam pengembangan Islam sampai ke seantero penjuru dunia.
Di pesantren, pusat utama kegiatan santri adalah di masjid. Hampir sepertiga dari seluruh aktivitas santri dilakukan di masjid. Dibandingkan dengan kelas, asrama, dan ruang makan, masjid adalah tempat paling sering dikunjungi santri dalam kegitan kesehariannya.
Di masjid para santri melaksanakan salat lima waktu berjamaah, plus dengan kegiatan tambahannya, sebelum dan setelahnya, seperti mengerjakan salat sunah qabliyah dan ba’diyah serta salat-salat sunah lainnya. Membaca Alquran dan wiridan rutin dilakukan setiap hari di masjid.
Selain kegiatan ibadah, kegiatan lainnya yang dilaksanakan di masjid adalah pelaksanaan pembelajaran, berupa pengajian yang dilaksanakan dengan metode halaqoh. Kegiatan ini dilakukan setelah salat Magrib atau setelah salat Subuh. Ada banyak kitab yang dipelajari seperti kitab-kitab tafsir, hadis, tasawuf dan lain sebagainya.
Masjid ibarat laboratorium tempat para santri mengembangkan bakat, sekaligus sebagai ajang aktualisasi diri. Di masjid, mereka pertama kali menjadi imam salat, berlatih berpidato, memimpin membaca Alquran, wirid, zikir, tahlil, selawat, doa dan lain sebagainya. Di masjid pula mereka pertama kali memegang microphone dengan perasaan gugup dan gemetaran. Sebelum akhirnya mereka menjadi mahir dan terlatih dalam bidangnya masing-masing.
Masjid bukanlah tempat yang sakral bagi para santri. Ia tidak ada bedanya seperti ketika mereka berada di dalam kelas atau di asrama. Wajar saja, karena tempat berkegiatan yang paling banyak, selain di asrama adalah di masjid. Hampir sepertiga dari waktu mereka dihabiskan di masjid, masjid Ibarat rumah kedua mereka.
Di pesantren kegiatan santri sangat padat dan sangat melelahkan. Mereka sibuk dengan berbagai macam kegiatan, hampir seluruh waktu dalam keseharian mereka digunakan untuk berkegiatan, kecuali saat tidur tiba, itu pun terkadang ditambah lagi dengan kegiatan di tengah malam, yaitu mengerjakan salat Tahajut. Adanya waktu luang yang diberikan untuk berkegiatan bebas tidaklah mencukupi.
Karena itulah suasana masjid di pesantren cenderung tidak tenang, sesekali terlihat santri di pojok-pojok tertentu terlihat tertawa ringan, atau sesekali terlihat bercanda, atau bahkan ada yang asyik ngobrol mencari-cari kesempatan dengan teman-teman di dekatnya, sambil menengok kiri kanan, takut kalau ada santri senior yang memperhatikan.
Kadang-kadang suasana masjid terdengar riuh. Namun, sebagian lagi terlihat khusyu beribadah. Orang yang datang ke masjid pesantren untuk pertama kali mungkin agak merasa heran. Tatapi, mereka yang pernah merasakan mondok di pesantren akan mafhum dengan keadaan itu.
Hal inilah, mungkin, sebagian yang menjadi kritikan Nurcholish Madjid, sebagi sebuah tingkah laku kaum santri yang kurang konsisten, bahwa di lingkungan intern mereka sangat “liberal”. Ini ditunjukkan dengan tingkah laku, termasuk pembicaraan mereka yang hampir-hampir seenaknya. Tetapi, ketika mereka berhadapan dengan dunia luar sikap ini tidak tampa
Namun santri tahu diri, kebiasaan itu tidak terbawa ke luar pesantren. Mereka bisa menempatkan diri. Bahkan setelah keluar dari pesantren, masjid masih merupakan bagian terpenting dari aktivitas santri. Banyak santri yang dipercayakan mengelola masjid, musala atau langgar. Menjadi imam tetap, menjadi khatib, muazin hingga marbot.
Kita berharap dengan banyaknya masjid yang dikelola oleh kaum santri akan dapat menghidupkan kembali fungsi masjid sebagaimana di pesantren, dan yang terpenting, tidak sampai di rebut dan menjadi markas orang-orang yang berpandangan radikal dan ekstremis yang cenderung bersikap intoleran.